Senin, 17 September 2012

Tasawuf » Definisi Tasawuf

Tasawuf » Definisi Tasawuf
Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari shuffa, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang me- nunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun.
Apa pun asalnya, istilah tasawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.
Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, atau musuh-musuh mereka, mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.
Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Saya kutipkan di bawah ini beberapa definisi dari syekh besar sufi:
Imam Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
    Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata.

Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."
Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809):
Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.
Syekh as-Suyuthi berkata, "Sufi adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk".
Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tasawuf seperti ini, dapatlah disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian "hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam konteks Islam tradisional tasawuf berdasarkan pada kebaikan budi ( adab) yang akhirnya mengantarkan kepada kebaikan dan kesadaran universal. Ke baikan dimulai dari adab lahiriah, dan kaum sufi yang benar akan mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap berada dalam batas-batas yang diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum Islam, yakni dengan menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat, yang merupakan jalan ketaatan kepada Allah. Jadi, tasawuf dimulai dengan mendapatkan pe ngetahuan tentang amal-amal lahiriah untuk membangun, mengembangkan, dan menghidupkan keadaan batin yang sudah sadar.
Adalah keliru mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai buah-buah tasawuf, yakni cahaya batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah (ma'rifah) tanpa memelihara kulit pelindung lahiriah yang berdasarkan pada ketaatan terhadap tuntutan hukum syariat. Perilaku lahiriah yang benar ini-perilaku--fisik--didasarkan pada doa dan pelaksanaan salat serta semua amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw untuk mencapai kewaspadaan "hati", bersama suasana hati dan keadaan yang menyertainya. Kemudian orang dapat majupada tangga penyucian dari niat rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari kesadaran akan ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati (tawadu') dan mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan da1am situasi lahiriah yang terisi dan terpelihara baik.

Tasawuf » Jalan Sufi

Tasawuf » Jalan Sufi
Menurut jalan kaum sufi, orang yang telah mencapai keadaan sadar lahir batin, dan yang telah berhasil mencapai suatu titik keseimbangan dan sentralitas, dapat menolong orang lain dan menggambarkan kepada mereka keadaan kemajuannya.
Karena itu kita dapati bahwa sepanjang zaman kaum sufi tetap saling berdekatan. Para syekh sufi menyertai muridnya dalam semua tahap kemajuan.
Kita harus membedakan antara istilah "keadaan" (hal) dan "kedudukan" (maqam). Yakni perbedaan antara bagaimana dan di mana. Keadaan (hal) berarti sesuatu yang dapat diraba atau dirasakan. Kadang-kadang orang dapat merasakan keadaan rohani yang sangat murah hati atau peningkatan kesadaran yang hebat. Namun keadaan ini mungkin tidak langgeng. Yang sesungguhnya diinginkan oleh si pencari (salik) ialah mencapai suatu kedudukan (maqam) yang hanya dapat terjadi bila didirikan sebagaimana mestinya dan kokoh. Kedudukan tidak bersifat sementara dan selalu dapat diandalkan dan diingat. Kebanyakan penempuh jalan Allah (salik) akan merasakan keadaan-keadaan yang berbeda dengan berbagai macam tingkat kelanggengan yang tidak permanen, yang tidak memuaskan dan tak cukup. Karena itulah maka pertolongan diperlukan untuk menjamin agar seorang pencari menjadi tetap dalam kedudukan (maqam) yang diinginkan. Maka mendampingi dan berhubungan dengan orang-orang yang berada pada jalan itu adalah suatu faktor penting dalam kemajuan seorang pencari. Alasan penting lain untuk mendapatkan pendampingan yang tepat ialah bahwa kita selalu merupakan produk dari saat yang terakhir, dan karena saat itu dilahirkan dari saat sebelumnya, dan begitu seterusnya, ada suatu kesinambungan. Seseorang yang berdiri sendiri tak dapat menyadari seberapa jauh ia telah menyimpang dari jalan pengetahuan-diri atau penyadaran-diri. Dengan demikian, seorang pencari memerlukan teman untuk menggambarkan kepadanya, seperti cermin, tentang keadaan atau kedudukannya
Sebagaimana dalam kasus ilmu fisika atau ilmu alam, di mana tak pelak lagi kita akan cenderung mengikuti seseorang yang mempunyai pengalaman dan kualifikasi yang lebih banyak dalam ilmu-ilmu tersebut, maka prinsip ini pun berlaku pada ilmu tentang diri (nafs). Pada tingkat fisik, kita secara konstan berusaha ke arah keselarasan dan tindakan yang benar, dan kita mengikuti orang yang ahli dalam bidang ini. Demikian pula bagi keselarasan batin, orang yang paling memenuhi syarat adalah syekh spriritual sufi yang sejati. Namun, ada suatu perbedaan antara ilmu lahir dan ilmu batin. Dalam ilmu lahir, segala cacat dan kekurangsempurnaan dapat dideteksi dengan mudah. Tidak demikian halnya dengan ilmu batin, misalnya, dimana seseorang dapat tersenyum padahal sebenarnya ia sangat resah. Pengetahuan tentang ilmu batin memerlukan spesialisasi yang lebih dalam. Yang diperlukan adalah obat "hati", yang tidak mudah diperoleh atau diberikan, sedang penyembuhan fisik dapat ditentukan, dianalisis dan logis, sehingga lebih mudah dicapai.
Adapun terhadap pertanyaan apakah yang terbaik itu hanya mengikuti satu guru rohani saja, ataukah banyak. Diantara orang-orang besar yang telah saya baca riwayatnya dan pernah saya temui, sebagian telah mengikuti banyak syekh sufi. Namun pada hakikatnya penempuh sejati jalan pencerahan hanya melihat satu syekh sufi. Para syekh sufi itu mungkin berbeda dalam bentuk dan ciri lahiriahnya, tetapi hakikat batinnya adalah satu dan sama. Seorang syekh sufi mungkin sangat tua dan sangat pendiam, syekh lainnya mungkin masih muda dan dinamis. Yang satu mungkin telah berperan-aktif secara politik, sedang yang lainnya tidak demikian. Seseorang mungkin produktif secara ekonomi dan bekerja di pertanian. Yang lainnya menjadi ilmuwan. Yang satu mungkin sangat akrab bermasyarakat sedang yang lainnya menjauhi masyarakat dan lebih menyendiri, dan sebagainya. Penampilan lahiriah dan kecenderungan mereka, seperti sidik jari, berbeda-beda, tetapi seorang pencari yang tulus tidak memusingkan yang lahiriah. Seorang pencari yang mentaati batas-batas yang ditetapkan oleh syari'at sangat memperhatikan perkembangan batin.
Hakikat batin berhubungan dengan esensi dan sumber. Bilamana hakikat batin mendatangi sumber, maka terjadilah kesatuan. Bilamana orang bergerak menjauhi sumber cahaya, maka ia membeda-bedakan dan melihat berbagai bayangan-bayangan yang berbeda dan sama serta profil yang berbeda-beda. Makin dekat orang meridatangi sumber cahaya, makin sedikit ia melihat perbedaan, sampai ia silau dan tenggelam serta terliputi oleh cahaya itu sendiri. Dengan kata lain, apabila seseorang telah mengambil seorang guru sufi sejati secara benar maka pada hakikatnya ia telah mengambil semua guru sufi. Adalah keliru mengira bahwa orang dapat membuang satu guru sufi lalu pergi kepada guru lainnya, kecuali apabila yang pertama tidak becus atau penipu.
Ketika si pencari berkembang dan bergerak maju, ia dapat melihat dirinya diawasi oleh guru rohaninya dan para guru rohani yang ditemuinya karena rasa hormat guru rohaninya sendiri. Pencari yang cerdas akan selalu hidup dan berperilaku seakan-akan semua syekh sufi yang telah ditemui sedang mengawasinya, sedang benar-benar ada bersama dia dan menjadi pembimbing, pemberi peringatan, dan sahabatnya.
Lantas timbul pertanyaan besar, bagaimana cara si pencari mendapatkan syekh sufi yang sejati? Atau, bagaimana dapat meyakini kualitas syekh tersebut? Para pengikut tradisi esoterik dan kebatinan percaya bahwa rahmat Allah menembus dan meliputi setiap situasi dan segala sesuatu. Guru yang tepat muncul pada saat yang tepat apabila seseorang mempunyai kesungguhan hati dan akhlak yang benar. Akhlak yang benar itu adalah kesabaran dan pengenalan terhadap kebutuhan. Dan dengan rahmat Allah inilah datang jawaban yang tepat pada waktu yang tepat bagi si pencari.
Seorang guru spiritual sejati harus mempunyai kualitas-kualitas dasar yang layak, sebagaimana seorang dokter harus memenuhi persyaratan dasar yang primer sebelum ia melakukan praktik kedokteran. Sebagai permulaan, seorang pemandu spiritual, yakni syekh sufi, harus mengetahui segala aspek lahiriah dari jalan Islam yang asli dan jalan hidup Islam. Ia harus sepenuhnya mengenal pengetahuan dan amalan Islam. Ia harus menerapkan apa yang ada dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Apabila ia tidak mengamalkan hukum-hukum lahiriah, bagaimana mungkin ia mempraktikkan aspek-aspek batin dari jalan hidup ini, apalagi menganjurkan orang lain untuk mengamalkannya? Maka guru spiritual yang sejati harus menghayati sendiri dengan sepenuhnya peraturan-peraturan lahir dan batin dalam Islam.
Syarat lain bagi seorang syekh sufi sebagai guru sejati adalah bahwa ia harus telah mencapai pencerahan yang sesungguhnya dengan mencapai pengetahuan yang sempurna tentang diri. Syekh harus mengetahui cakrawala diri (nafs) yang luar biasa luasnya. Barangsiapa mengenal dirinya, sesungguhnya ia mengenal Tuhannya.
Seorang syekh sufi sejati juga harus sudah mendapat izin secara ikrar untuk pergi dan membimbing orang lain pada jalan pengetahuan-diri, oleh seorang guru yang telah mencapai pencerahan dan berpengalaman serta telah diizinkan untuk mengajar, dan seterusnya, sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Karena, ada orang-orang yang tetap mentaati batas lahiriah syariat Islam, ada yang telah mencapai pengetahuan-diri, ada pula yang telah mencapai makrifat dan pengetahuan tentang diri, namun mereka tak mampu membimbing orang lain. Sebagaimana tidak cukup bagi seorang dokter hanya dengan sekedar mengkaji dan lulus ujian, serta mengamati dan menjadi asisten dokter lain, sebelum ia dapat membuka praktik sendiri. Ia juga harus diberi izin atau lisensi untuk praktik dokter oleh seorang dokter berkualifikasi yang puas dengan kemampuannya untuk berpraktik.
Syarat lainnya ialah bahwa harus ada seorang pencari yang menerima pengetahuan dari syekh sufi, sebagaimana harus ada pasien sebelum dokter dapat mempraktikkan kedokterannya. Akhirnya, sebagaimana tak ada gunanya bagi seorang dokter untuk mengurus orang sakit apabila si pasien tidak mampu atau tidak mau menerima obat atas penyakitnya, maka tak ada gunanya syekh sufi apabila si pencari tidak sungguh-sungguh mengikutinya.
Sekarang kita sampai pada hubungan antara pencari dan guru. Sejauh mana orang sakit mengambil maslahat dari dokter tergantung pada sejauh mana kepercayaannya terhadap obat yang diresepkan dan kerajinannya mengikuti resep itu. Prinsip yang sama, hanya diperbesar, berlaku pada ilmu pengetahuan-diri dan tasawuf. Akhirnya, yang penting adalah ketajaman dan kehalusan pemahaman antara si syekh sufi dan si murid. Jarak hubungan mereka yang hakiki akan menentukan kecepatan si pencari dalam mengambil dan menyerap warna dan pengertian si guru. Guru itu bagaikan sebuah garputala, dan apabila si murid membiarkan dirinya secara total bergetar dalam gaungnya, yakni sepenuhnya mengikuti gurunya, maka ia akan segera menyanyikan lagu yang sama dengan guru spiritualnya. Ini tidak terjadi dengan serta-merta, tapi dapat berkembang dan berevolusi dengan menanyakan, menguji dan menyesuaikan, sampai si pencari mempercayai gurunya sepenuhnya. Akan datang suatu waktu ketika komitmen total harus dibuat. Si pencari akan memasuki suatu perjanjian yang disebut inisiasi (pelantikan).
Upacara inisiasi telah menjadi suatu peristiwa penting di kalangan banyak tarekat sufi. Banyak sufi semu telah menirunya dan telah membumbuinya lebih jauh serta menempelkan nilai-nilai mistik kepadanya. Satu contoh ialah praktik-praktik rahasia kaum Freemason. Dalam kelompok ini, bila seorang anggota mencapai level tertentu di dalam "tarekat" itu, ia dikubur hidup-hidup untuk sementara dalam sebuah peti mati, yang secara simbolis menyiratkan pengalaman pribadi tentang kematian, sementara masih berada dalam kehidupan dunia ini. Setelah beberapa saat ia dikeluarkan dari peti mati dan "dikembalikan" kepada kehidupan ini. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Matilah sebelum kamu mati," yang artinya melakukan pelepasan dan kebebasan sebelum terjadi peristiwa pelepasan dari jasad Anda.
Fondasi inisiasi adalah suatu ikatan atau perjanjian yang mempersatukan guru dan murid. Perjanjian tersebut tidak tertulis dan karena itu mengambil bentuk baiat (sumpah setia). Si pencari setuju untuk mentaati si guru, dan si guru setuju untuk mengurus kemajuan si murid serta membimbingnya.
Kebalikan dari inisiasi, yakni pengusiran, kadang-kadang juga terjadi ketika si guru dan murid mencapai suatu keadaan di mana ikatan antara keduanya menjadi tak berlaku dan hubungan itu mati. Ada kalanya pencari meninggalkan gurunya dan menyoroti segala yang nampak tidak menyenangkan pada si guru. Kemarahan si pencari menyebabkan ia melihat semua aspek negatif dari hubungan itu, dan menurut penglihatannya sia-sialah segala pengorbanan yang telah dilakukannya. Bagi si guru, si pencari yang minggat dengan kemarahan itu adalah seorang korban baru dari nafsu yang rendah dalam diri manusia.
Derajat kecanggihan dan kompleksnya peraturan inisiasi nampaknya banyak tergantung pada kecenderungan syekh sendiri, dan pada lingkungannya. Beberapa syekh tertarik pada upacara-upacara, pada hierarki, dan pada pemberian nama-nama kepada orang sesuai dengan kedudukan (maqam) dan kapasitasnya, seperti, misalnya, para syekh Sanusi di Libya yang secara spiritual, sosial, politik, dan ekonomi memimpin dan menguasai jaringan desa dan kota yang sangat luas selama hampir satu abad. Di sisi lain. beberapa syekh tidak menggunakan bentuk formal atau seremonial dalam inisiasi, entah karena watak dari kedudukan mereka dalam masyarakat atau karena mereka tidak memandangnya perlu. Jadi, lingkungan sosio-kultural dan pembawaan para syekh itu sendiri merupakan dua faktor utama yang menentukan derajat formalitas dalam setiap tarekat sufi.
Tujuan terakhir dari syekh sufi ialah membantu muridnya untuk menemukan kebenaran dalam diri dan untuk dicerahi tentang hakikat. Agar terpenuhi setiap waktu, pentinglah menemukan sebab-sebab ketidakbahagiaan. Sebab hakiki dari semua ketidakpuasan berakar pada pelanggaran batas-batas, pembangkangan, pengharapan, hasrat, ketakutan, kecemasan dan aspek-aspek lain seperti kurangnya pemahaman tentang alam hakikat. Dari sisi pandang kaum sufi, amal ibadah dasar yang ditetapkan oleh syari'at, seperti shalat, puasa di bulan Ramadlan, zakat, naik haji ke Makkah, dan seterusnya, walaupun wajib, tidaklah cukup bagi kebanyakan manusia yang sakit dalam rumah sakit besar bernama dunia ini. Dunia adalah rumah sakit Tuhan, dan para rasul, nabi, serta para wali atau syekh sufi adalah dokter jiwanya. Karena ada berbagai jenis penyakit, maka bangsal rumah sakit pun berbeda-beda. Ada klinik di mana pasien tidak tinggal lama ada kamar di mana pasien tinggal beberapa minggu atau bulan; dan ada kamar bedah di mana dokter, atau syekh sufi, terus sibuk "mengoperasi" pasien-pasiennya. Kita dapati pula "obat-obat" diresepkan sesuai dengan keperluan khusus si pasien, dengan mempertimbangkan lingkungan seluruhnya dan semua keadaan sekitar.
Fungsi terakhir dari seorang guru sufi ialah memindahkan si pencari secara berangsur-angsur, sesuai dengan kecepatan langkahnya, sampai ke tingkat di mana ia mampu membaca "kitab" yang ada di dalam "hati"-nya. Apabila si pencari mempelajari seni ini dan menjadi kuat serta bertindak sesuai kehendak, maka jelaslah ia sedang maju dan berkembang. Tujuan si syekh ialah melepaskan dan menyampaikan kepada orang lain apa yang telah dicapainya sendiri. Proses ini, sebagaimana dinyatakan sebelumnya, dapat ditingkatkan apabila lingkungan maupun pendampingannya tepat, dan bilamana si murid berniat untuk belajar dan berkemauan untuk bertindak, dan bertindak dengan semestinya. Guru tidak bisa berbuat banyak bila si pencari atau murid tidak ingin maju. Si penempuh jalan (salik) bisa menyerah pada suatu tahap perjalanan (suluk), sekalipun tinggal selangkah lagi. Namun, kadang-kadang, sekalipun si murid ingin maju, tidak ada jaminan bahwa tujuannya akan terpenuhi sesuai dengan harapan. Syekh al-Faituri (m. 1979) berkata sebagai berikut tentang dilema guru dalam salah satu syairnya:
Betapapun besar si guru berusaha. Betapapun besar si murid menghendaki. Betapapun khusyuknya dia (beribadat) siang dan malam, Akhirnya pencerahan adalah anugerah Allah.
Tugas guru ialah membimbing si pencari sepanjang jalan yang sudah ditertibkan sampai ke titik di mana ia mampu duduk dalam kejagaan mutlak tanpa menjaga sesuatu. Ini puncak terakhir yang murni dan sederhana dari kondisi meditasi (khalwat). Sejak itu seterusnya, hanya Allah yang dapat menolong dia. Jadi, si pencari harus melengkapi sendiri setengah lingkaran, tetapi setengah lingkaran lagi tidak berada dalam kekuasaannya. Anda naik setinggi Anda dapat memanjat, lalu berserah diri!
Menurut pengalaman para sufi, tingkat kemajuan sepanjang perjalanan spiritual (suluk) tidak menurut garis lurus. Menurut studi mekanistis, seperti mempelajari bahasa, kemajuan itu berjalan agak lurus. Makin banyak waktu yang Anda curahkan untuk mempraktikkan bahasa, makin cakap Anda dalam berbahasa, karena hal itu dapat diprogram sehingga dapat diukur, dan oleh karena itu lebih mudah diperoleh. Di sisi lain, ilmu kebatinan, dapat diukur tetapi sukar. Apabila seseorang sanggup melenyapkan sama sekali segala keterikatan sekarang ini juga, maka kebangunan akan segera tercapai. Apabila tidak demikian, ia harus melewati tumpukan disiplin, peringatan yang terus-menerus, dan penderitaan yang tak henti-henti untuk dapat sampai pada kesadaran yang sempurna. Kemajuan spiritual tidak diukur seperti mengukur usaha-usaha lain. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun tanpa nampak terjadi sesuatu, dan kemudian tiba-tiba saja dalam dua hari segala sesuatu terjadi. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun mentaati gurunya, dan merasa bahwa tak terjadi banyak kemajuan, padahal dalam kenyataannya mungkin amat banyak "karat" spiritual telah disingkirkan selama waktu itu. Seperti menyingkirkan karat setebal beberapa inci, dan masih belum dapat melihat dasar logam di bawahnya, padahal logam itu mungkin sebenarnya hanya tinggal satu milimeter karat lagi. Kita tak mampu mengukur kemajuan spiritual secara lahiriah, karena ia berdasar pada kesucian "hati" dan kemauan untuk menanggalkan keterikatan. Itu tergantung pada derajat ketundukan si pencari kepada nabi. Mula-mula ia tunduk dengan menggunakan penalaran dan akalnya, dan dengan mempelajari seluruh hubungan sebab-akibat. Kemudian, kemajuan spiritual mengambil momentumnya sendiri. Sesudah itu, ketundukan yang sederhana membawanya kepada ketundukan yang lebih manis dan lebih spontan tanpa mengandung keraguan. Sebelum keadaan ini tercapai, tak banyak yang dapat terjadi. Jadi, waktu yang diperlukan untuk terjadinya pembukaan-pembukaan tertentu tidak dapat diukur semudah itu. Hubungan yang patut antara pencari dan guru spiritual diperlukan agar dapat dicapai kemajuan yang berkelanjutan. Murid terdekat Syekh Sufi Imam Junaid bernama Syibli. Imam Junaid (m. 910) sangat mencintainya. Pernah, dalam suatu pertemuan, salah seorang anggotanya mulai mengagumi dan memuji Syibli di hadapannya dan banyak orang lain. Imam Junaid menyela lalu mulai menceritakan segala kesalahan dan kekurangan Syibli. Syibli merasa malu dan diam-diam mengundurkan diri dari pertemuan itu. Ketika ia telah pergi, Imam Junaid berkata, "Saya melindunginya dengan perisai penghinaan dari panah berbisa pujian yang berlebihan." Karena, Imam Junaid tahu bahwa Syibli hampir mencapai suatu maqam spiritual, dan apabila pujian-pujian itu tidak dipotong, mungkin akan melambungkan egonya dan menciptakan rintangan. Rintangan terbesar terhadap kebangunan batin ialah menghargai diri sendiri.
Seluruh jalan hidup sufi berkisar pada menghilangkan keterikatan, dan keterikatan yang terbesar dan terburuk kebetulan adalah ilmu pengetahuan. Ada anekdot tentang Imam Abu Hamid al-Ghazzali (m. 1111) sehubungan dengan ini. Ketika Imam Ghazzali meninggalkan Baghdad untuk mencari syekh sufi, ia telah memperoleh semua pengetahuan lahiriah dari ilmu-ilmu Islam, tetapi batinnya yang terdalam belum terbangun. Ia membawa dua ekor keledai yang dimuati buku. Di tengah jalan ia dihentikan oleh seorang perampok yang hendak mengambil buku-bukunya. Imam Ghazzali menawarkan apa pun kepada perampok itu kecuali buku, tetapi si perampok hanya menghendaki buku, lalu mengambilnya. Tujuh atau delapan tahun kemudian, ketika Imam Ghazzali telah memenuhi pencarian sufinya, seseorang datang ke hadapannya di Makkah. Rupanya ia Nabi Khidr, yang memberitahukan kepada Imam Ghazzali bahwa jika bukan karena perampokan buku-bukunya, maka ia akan tetap mejadi budak buku-buku itu dan tidak akan menemukan "Buku" pengetahuan sesungguhnya yang berada di dalam hati setiap orang. Imam 'Ali berkata dalam hal ini, "Anda adalah 'Buku' [asli] yang terang."
Buku diperlukan pada awalnya sebagai alat bantu untuk penemuan batin, tetapi bila seseorang menjadi lebih kuat dengan pengetahuan batin, ia kurang memerlukan bantuan dari luar. Buku adalah seperti kursi dorong yang diperlukan seorang anak hanya pada awal kehidupannya. Namun sayangnya, banyak orang yang disebut ulama mempertahankan kursi dorongnya sepanjang sisa hidupnya. Di sisi lain, banyak sufi semu cenderung untuk membuang bukan saja buku tetapi juga bacaan hafalan sebagai barang yang sama sekali tidak diperlukan. Sikap meremehkan ini tak lain adalah bentuk pengangkatan diri, yang merupakan pemutarbalikan dan penyimpangan dari jalan spiritual yang sesungguhnya. Kitab-kitab dan bacaan merupakan alat bantu yang penting untuk membantu kebangunan batin, yang tak dapat diandalkan sepenuhnya dan tak boleh diabaikan sama sekali.
Pencari pengetahuan dan gnosis (makrifat) harus mengikuti jalan di bawah bimbingan seorang guru, sampai datang suatu saat di mana ia harus dibiarkan sendiri. Guru itu ibarat tongkat yang tidak perlu digunakan lagi setelah si pencari dapat berjalan sendiri. Saat itu tiba bila si murid tidak lagi memerlukan guru jasmaniah karena kini ia telah terisi langsung ke dalam sumber kekuatan sejati. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia memerlukan guru lahiriah sepanjang hidupnya, maka ia telah salah membatasi ukuran sebenarnya dari potensi manusia dan kerahiman Ilahi. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak memerlukan seorang guru maka ia sombong (takabbur) dan angkuh dan akan hidup di bawah kezaliman nafsu yang rendah. Namun, bagi setiap aturan ada kekecualian. Kekecualian tersebut dalam kasus orang yang tidak memerlukan guru lahiriah, atau yang tidak kelihatan memiliki guru jasmaniah yang nyata, untuk mengarahkan dan membimbingya. Dalam tradisi sufi, orang semacam itu disebut uwaisi. Istilah ini berasal dari nama seorang lelaki, Uwais al-Qarani, yang tinggal di Yaman di masa Nabi Muhammad SAW. Walaupun ia belum pernah bertemu secara fisik dengan Nabi, namun ia telah melihat beliau dalam mimpi-mimpinya, kabarnya Nabi SAW menyebutkan wali besar ini dengan mengatakan, "Nafas Yang Maha Pengasih datang kepada saya dari Yaman." Ketika orang mengetahui tentang tingkat spiritualnya, Uwais berusaha menyembunyikan diri di balik kehidupan biasa seorang gembala unta dan kambing, dan khalwat menjadi jalan hidupnya. Ketika ia ditanyai tentang hal ini, ia berkata, "Mendoakan manusia dalam ketidakhadiran orang yang didoakan adalah lebih baik daripada mengunjunginya, karena aspek-aspek ego mereka, seperti pakaian atau citra diri, dapat mengalihkan perhatian saya." Ia juga biasa mengatakan, "Menyuruh orang berbuat baik tidak menyampaikan saya pada seorang sahabat," dan "Saya memohon kepada setiap orang yang lapar untuk memaafkan saya, karena saya tak mempunyai apa-apa dalam dunia ini selain apa yang ada dalam perut saya." Bagi kaum sufi yang belakangan, Uwais menjadi prototipe orang sufi yang bersemangat yang tidak memihakkan dirinya kepada suatu tarekat sufi. Para sufi semacam itu menerima inisiasi atau cahaya mereka langsung dari cahaya (nur) Nabi, tanpa kehadiran secara fisik atau bimbingan dari seseorang guru spiritual yang hidup.
Segelintir sufi semu yang tidak mengikuti, dan tidak ingin mengikuti, seorang guru spiritual sejati untuk membimbingnya pada jalan spiritual, memanfaatkan situasi itu dan dengan tidak benar menamakan dirinya Uwaisi. Ini adalah salah satu taktik dan penipuan dari nafsu rendah yang tidak ingin diurus atau tunduk kepada Allah. Uwaisi sejati yang sebenarnya adalah langka. Orang yang sungguh-sungguh tertarik pada tasawuf mengikuti suatu jalan perbaikan-diri, kesadaran-diri, dan kebangunan-diri, dengan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh syekh sufi.

Filsafat Islam » Agama, Filsafat dan Ilmu

Filsafat Islam » Agama, Filsafat dan Ilmu
 
Dalam Tahshîl al-sa'âfidah AI-Fârâbi dengan jelas menyatakan pandangannya tentang sifat agama dan filsafat serta hubungan antara keduanya:
Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat .Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang terdahulu menyebut sesuatu yang membentuk pengetahan-pengetahuan ini agama. Jika pengetahuan-pegetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode persuasif digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut filsafat populer, yang diterima secara umum, dan bersifat eksternal.
Al-Fârâbî menghidupkan kembali klaim kuno yang menyatakan bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Menurutnya, baik agama maupun filsafat berhubungan dengan realitas yang sama. Keduanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama melaporkan prinsip-prinsip tertinggi wujud (yaitu, esensi Prinsip Pertama dan esensi dari prinsip-prinsip kedua nonfisik). Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang diciptakan demi manusia yaitu,kebahagiaan tertinggi dan tujuan puncak dari wujud-wujud lain. Tetapi, dikatakan Al-Fârâbî, filsafat memberikan laporan berdasarkan persepsi intelektual. Sedangkan agama memaparkan laporannya berdasarkan imajinasi. Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat, agama memakai metode-metode persuasif untuk menjelaskannya.
Tujuan dari 'tiruan-tiruan' kebenaran wahyu kenabian dengan citra dan lambang telah dijelaskan sebelumnya. Sifat dari citra dan lambang religius ini membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Menurut Al-Fârâbî, agama mengambil tiruan kebenaran transenden dari dunia alami, dunia seni dan pertukangan, atau dari ruang lingkup lembaga sosio-politik. Sebagai contoh, pengetahuan-pengetahuan yang sepenuhnya sempurna, seperti Sebab Pertama, wujud-wujud malakut atau lelangit dilambangkan dengan benda-benda terindra yang utama, sempuma, dan indah dipandang. Inilah sebabnya mengapa dalam Islam, matahari melambangkan Tuhan, bulan melambangkan nabi, dan bintang melambangkan sahabat nabi.
Fungsi dari tugas-tugas politis seperti raja dengan segenap hierarki bawahannya berikut fungsi-fungsi kehormatannya memberikan citra dan lambang bagi pemahaman akan hierarki wujud dan perbuatan-perbuatan ilahi saat menciptakan dan mengurus alam semesta. Karya-karya seni dan pertukangan manusia memperlihatkan, tiruan-tiruan gerakan kekuatan dan prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya objek-objek alami. Sebagai contoh, empat sebab Aristotelian yang disebut Al-Fârâbî sebagai empat prinsip wujud, dapat dijelaskan dengan merujuk pada prinsip-prinsip pembuatan objek-objek seni. Secara umum, menurut Al-Fârâbî, agama berusaha membawa tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan esensi mereka.
Dalam Islam, pandangan mengenai perbedaan antara agama (millah) dan filsafat (falsafah) umumnya diidentifikasi dengan mazhab masysyâ'î ilmuwan filosof di mana Al-Fârâbî termasuk di dalamnya. Rahman telah memperlihatkan bahwa perbedaan ini diikuti rumusan terinci menyangkut filsafat agama Yunani-Romawi dalam perkembangan-perkembangan berikutnya. Namun, gagasan mendasar yang ingin disampaikan melalui perbedaan ini bukan sesuatu yang asing bagi perspektif wahyu Islam. Gagasan yang sama di ungkapkan para Sufi dalam kerangka perbedaan eksoterik-esoterik. Gagasan itu berbunyi demikian: kebenaran atau realitas adalah satu namun pemahamannya oleh pikiran manusia mempunyai derajat kesempurnaan yang bertingkat-tingkat. Meskipun dia juga seorang Sufi, Al-Farabi di sini berbicara sebagai wakil dari tradisi filosofis.
Dalam perspektif falâsifah, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan secara bebas; dan agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas tampak dari perkataan dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah yang digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari filsafat adalah millah; bukan dîn. Ini menunjukkan kehendak Al-Fârâbî membedakan filsafat secara kontras tidak dengan tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah daripada dîn. Millah lebih tepat karena dia mengacu pada komunitas religius di bawah sanksi ilahi dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau perintah-perintah hukum moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik komunitas religius ini.
Dalam wacana yang dikutip di atas, Al-Fârâbî tampaknya berpendapat ada dua jenis filsafat. Jenis pertama, filsafat yang disebutnya filsafat populer, diterima secara umum dan eksternal. Dari paparannya tentang karakteristik filsafat tersebut dan kalâm, khususnya penjelasan dalam Ihshâ' al-'ulûm, tidak diragukan bahwa Al-Fârâbî menganggap kalâm sebagai contoh dari filsafat jenis pertama. Jenis kedua, filsafat esoterik yang ditujukan bagi kaum elitek yaitu suatu filsafat yang hanya diperkenalkan pada mereka yang telah siap secara intelektual dan spiritual. Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang didasarkan atas metode demonstrasi yang meyakinkan (al-burhân al-yaqînî), suatu metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual dan putusan logis (istinbâth) yang pasti. Karena itu, filsafat adalah sejenis pegetahuan yang lebih unggul dibanding agama (millah), karena millah didasarkan atas metode persuasif (al-iqnâ').
Kemudian, bagi Al-Fârâbî, filsafat merujuk pada kebenaran abadi atau kebijaksaaan (al-hikmah) yang terletak pada jantung setiap tradisi. Ini dapat diidentifikasi dengan philosophia perennis yang diajarkan oleh Leibniz dan secara komprehensif dijelaskan dalam abad ini oleh Schuon, Berbicara mengenai beberapa tokoh kuno pemilik kebijaksanaan tradisional ini. Al-Fârâbî menulis:
Konon, dahulu kala ilmu ini terdapat dikalangan orang-orang Kaldea, yang merupakan bangsa Irak, kemudian bangsa Mesir, dari sini lantas diteruskan pada bangsa Yunani, dan bertahan di situ hingga diwariskan pada bangsa Syria, dan selanjutnya, bangsa Arab. Segala sesuatu yang terkandung dalam ilmu tersebut dijelaskan dalam bahasa Yunani, kemudian Syria, dan akhirnya Arab.
Dikatakan Al-Fârâbî, bangsa Yunani menyebut pengetahuan tentang kebenaran abadi ini kebijaksanaan "paripuma" sekaligus kebijaksanaan tertinggi. Mereka menyebut perolehan pengetahuan seperti itu sebagai ilmu', dan mengistilahkan keadaan ilmiah pikiran sebagai filsafat'. Yang dimaksud dengan yang terakhir ini adalah tidak lain pencarian dan kecintaan pada kebijaksanaan tertinggi. Menurut Al-Fârâbî, orang-orang Yunani juga berpendapat bahwa secara potensial kebijaksanaan ini memasukkan setiap jenis kebajikan. Berdasarkan alasan ini, filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari segala ilmu, kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan dan seni dari segala seni. Maksud mereka sebenarnya, tutur Al-Fârâbî, adalah seni yang memanfaatkan segala kesenian, kebajikan yang memanfaatkan segala kebajikan, dan kebijaksanaan yang memanfaatkan segala kebijaksanaan.
Al-Fârâbî agaknya sadar sepenuhnya akan fakta berikut: sementara esensi dari kebijaksanaan abadi ini satu dan sama dalam setiap tradisi, sejauh ini tidak ditemukan model pengungkapan yang sama pada tradisi-tradisi ini. Tetapi, Al-Fârâbî tidak menjelaskan deskripsi cara pengungkapan ini dalam kasus tradisi pra-Yunani. Tetapi dia menyebut filosof-filosof Yunani, tepatnya plato dan Aristoteles, khususnya lagi Aristoteles, sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan penjelasan baru dari kebijaksanaan kuno ini, berupa pengungkapan dialektis atau logis. Pengetahuan tentang bentuk-bentuknya baru diwarisi oleh Islam melalui orang-orang Kristen Syria.
Sebagaimana telah kita lihat, Al-Fârâbî mendefinisikan kebijaksanaan tertinggi sebagai "pengetahuan paling tinggi tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama dari setiap eksistensi sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber dari setiap kebenaran". Mengikuti Aristoteles, Al-Fârâbî menggunakan istilah filsafat untuk merujuk pada pengetahuan metafisis yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk rasional serta ilmu-ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan metafisis yang didasarkan pada metode demonstrasi yang meyakinkan. Karena itu, filsafat Al-Fârâbî terdiri dari empat bagian: ilmu-ilmu matematis, fisika (filsafat alam), metafisika, dan ilmu tentang masyarakat (politik). Perbedaan filsafat-agama oleh Al-Fârâbî dibayangkan dalam konteks satu tradisi wahyu yang sama. Tetapi perbedaan itu memiliki keabsahan universal, yang dapat diterapkan bagi setiap tradisi wahyu. Dengan meninjau tiap-tiap tradisi dalam batas-batas pembagian hierarkis menjadi filsafat dan agama, Al-Farabi memberikan teori untuk menjelaskan fenomena, keragaman agama. Menurutnya, agama berbeda itu satu sama lain karena kebenaran-kebenaran intelektual dan spiritual yang sama bisa jadi memiliki banyak penggambaran imajinatif yang berlainan. Kendati demikian, terdapat kesatuan pada setiap tradisi wahyu didataran filosofis, karena pengetahuan filosofis tentang realitas sesungguhnya hanya satu dan sama bagi setiap bangsa dan masyarakat.
Pada saat yang sama, Al-Fârâbî menyukai gagasan keunggulan relatif satu lambang religius atas lambang lainnya, dalam pengertian bahwa lambang-lambang dan citra-citra yang dipakai dalam satu agama lebih mendekati kebeparan spiritual yang hendak disampaikan-lebih tepat dan lebih efektif-ketimbang yang dipakai dalam agama lainnya. renting dicatat, Al-Farabi diketahui tidak pernah mencela agama tertentu, meskipun dia berpendapat bahwa sebagian dari lambang dan citra religius agama tersebut tak memuaskan atau bahkan membahayakan. Tulisnya:
Tiruan dari hal-hal macam itu bertingkat-tingkat dalam keutamaannya; penggambaran imajinatif sebagian dari mereka lebih baik dan lebih sempurna, sementara yang lainnya kurang baik dan kurang sempurna; sebagian lebih dekat pada kebenaran, sebagian lain lebih jauh. Dalam beberapa hal, butir-butir pandangannya sedikit-atau bahkan tidak dapat-diketahui, atau malah sulit berpendapat menentang mereka, sementara dalam beberapa hal lainnya, butir-butir pandangannya banyak atau mudah dilacak, di samping mudah memahami pendapat tentang mereka atau untuk menolak mereka.
Perbedaan filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan Al-Fârâbî, lagi-lagi, menjadi fokus pemusatan hierarki ilmu dalam pemikirannya. Ketika perbedaan ini diterapkan baik pada dimensi teoretis maupun praktis dari wahyu, seperti dikemukakan sebelumnya, kita akan sampai pada hasil yang menyoroti lebih jauh perlakuan Al-Fârâbî terhadap ilmu-ilmu religius dalam klasifikasinya dikaitkan dengan ilmu-ilmu filosofis. Kalâm dan fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu religius yang muncul dalam klasifikasinya, Al-Fârâbî adalah ilmu-ilmu eksternal atau eksoterik dari dimensi-dimensi wahyu secara teoretis dan praktis. Metafisika (al-'ilm al-ilâhî) dan politik (al-'ilm al-madanî) berturut-turut merupakan mitra filosofisnya

Filsafat Umum

Buku ini menjelaskan tentang pengertian,maksud dan tujuan filsafat secara umum disamping secararinci memaparkan fisafat yang begitu populer akhir-akhir ini yaitu filsafat analitis dan strukturalisme. Sebagai penguat, pengarang juga menerapkan lebih jauh cabang-cabang filsafat yang pernah mendunia antara lain, filsafat Yunani, filsafat abad pertengahan, pemikiran filsafat di timur dan juga filsafat moderen.

Asmoro Asmadi adalah staf pengajar di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang dalam mata kuliah filsafat umum. Beliau dalam kata pengantarnya menyarankan agar mempelajari filsafat dengan cara tersendiri, kajian terhadap filsafat tidak bertolak pada definisi-definisi yang ada, dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah.

Pada bagian pertama buku ini menjelaskan tentang pengetian filsafat, objek materi danobjek forma filsafat, ciri-ciri pemikiran filsafat, cabang-cabang filsafat, kedudukan ilmu, filsafat dan agama, kegunaan mempelajari filsafat, metode-metode filsafat dan sejarah kelahiran filsafat. Menurut etimologifilsafat adalah mencintai kebijaksanaan, konsep Plato memberi istilah dialektika yang berarti seni berdiskusi, konsep Cicero menyebutnya sebagai ibu dari semuai seni, konsep Al Farabi adalah menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada, konsep Rene Descartes menyatakan kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan. Dari keragaman pengertian filsafat tersebut. Penulis memberikan suatu konsep bahwa filsafat mempunyai pengertian yang multi dimensi.

Filsafat dikatakan sebagai ilmu karena filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah yaitu : bagaimana, mengapa, kemana dan apa. Pertanyaan bagaimana mengandung sifat-yang dapat ditangkap atau tampak oleh indera, jawaban yang diperoleh bersifat deskriptif. Pertanyaan mengapa mengandung sebab (asal mula) suatu obyek, jawaban yang diperoleh bersifat kausalitas. Pertanyaan kemana menanyakan tantang apa yang terjadi dimasa lampau, sekarang dan yang akan datang, pengetahuan yang diperoleh adalah: pengetahuan yang timbul dari hal yang selalu berulang dapat dijadikan sebagai pedoman, pengetahuan yang terkandung dalam adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dan pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai (hukum) sebagai suatu hal yang dijadikan pegangan. Pertanyaan apakah menanyakan tentang hakikat atau inti mutlak dari suatu hal, jawaban yang diperoleh mengetahui hal-hal yang sifatnya sangat umum, universal danabstrak.
Ciri-ciri pemikiran filsafat yaitu: sangat umum, tidak faktual artinya membuat dugaan-dugaan yang masuk akal dengan tidak berdasarkan pada bukti tetapi bukan berarti tidak ilmiah, bersangkutan dengan nilai dimana penilaian yang dimaksud adalah yang baik dan buruk yang susila dan asusila, berkaitan dengan arti, dan implikatif. .

Adapun kegunaan mempelajari filsafat adalah : Menambah ilmu pengetahuan sehingga dapat membantu menyelesaikan masalah dengan bijaksana, membuat manusia lebih hidup lebih tanggap (peka) terhadap diri dan lingkungannya, membantu manusia untuk mengetahui mana yang pantas ditolak dan mana yang pantas disetujui. ��

Bagian lain buku ini membahas tentang filsafat Yunani, dimana filsafat Yunani terbagi menjadi dua periode yaitu periode Yunani kuno dan periode Yunani klasik.Periode Yunani kuno disebut periode filsafat alam, karena pada periode ini ditandai dengan munculnya ahli pikir alam dimana arah dan perhatian pemikirannya pada alam sekitarnya. Pernyataan-pernyataan yang dibuat bersifat filsafati (berdasar akal pikir) dan tidak berdasar pada mitos.Ahli pikir alam antara lain, adalah Thales, Anaximandros, dan Pythagoras. Periode Yunani klasik merupakan periode perkembangan filsafat yang sangat pesat, aliran yang mengawali periode Yunani kalasik adalahsofisme (cerdik pandai). Ahli pikir Yunani klasik antara lain, Socretes menyelidiki manusia secara keseluruhan yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah,dimana keduanya tidak dapat dipisahkan. Plato mencoba menyelesaikan permasalahan lama : mana yang benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides), antara pengetahuan lewat indera dan pengetahuan lewat akal. sebagai penyelesaian persoalan. Ia menerangkan bahawa manusia sesungguhnya berada dalam dua dunia yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap, dan dunia ide yang bersifattetap. Dunia pengalaman merupakan bayang-bayang dunia ide sedang dunia ide merupakan dunia sesungguhnya. Pemikiran Aristoteles antara lain: ajaran tentang logika, silogisme, pengelompokan ilmu pengetahuan, potensia dan dinamika, pengenalan etika dan Negara.

Bagian ketiga buku ini menjelaskan tentang filsafat barat abad pertengahan. Filsafat barat abad petengahan (476-1492) dapat dikatakan sebagai �abad gelap� karena berdasarkan pada pendekatan sejarah gereja, saat itu tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi dirinya . Masa abad pertengahan dibagi menjadi 2 (dua) masa yaitu masa Patristik dan masa Skolastik.

Masa patristik, para ahli pikir beragam pemikirannya ada yang menolak filsafat Yunani dan ada yang menerimanya, yang menolak adalah karena mereka sudah mempunyai sumber kebenaran yaitu firman Tuhan dan tidak dibenarkan mencari kebenaran lain seperti filsafat Yunani, sedang yang menerima beranggapan bahwa walau telah ada sumber kebenaran, tetapi tidak ada salahnya menggunakan filsafat Yunani, yang diambil tata cara berpikirnya, ahli pikir patristik antara lain: Justinus martir, Klemens, Tertullianus, Augustinus. Aliran skolastik berkaitan dengan sekolah dan merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad pertengahan. Filsafat skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama, filsafat yang mengabdi kepada teologi, atau filsafat yang rasional memecahkan persolan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik buruk, filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan kodrat, akan dimasukkan ke dalam bentuk sintesa yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal, filsafat Nasrani, karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja, ahli pikir skolastik antara lain, Peter Abaelardus, Albertus Magnus, Thomas Aquinas, William Ockham.

Pemikiran filsafat di timur mengemukakan tentang filsafat India, filsafat Tiongkok, dan filsafat Islam. Filsafat India berkembang dan menjadi satu dengan agama sehingga pemikiran filsafatnya bersifat religius dan tujuan akhirnya mencari keselamatan akhirat Filsafat India terbagi menjadi : Zaman Weda pemikiran filsafat berupa mantera-mantera dan pujian keagamaan, Zaman Wira Carita pemikiran filsafat berupa tulisan-tlisan tentang kepahlawanan dan tentang hubunganmanusia dengan dewa. ZamanSastra Sutra diisi oleh semakin banyaknya bahan-bahan pemikiran filsafat (sutra), dengan ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh seperti Sankara, Ramanuja, Madhwa, dan lainnya. Zaman Kemunduran diisi oleh pemikiran filsafat yang mandul, karena para ahli pikir hanya menirukan pemikiran filsafat yang lampau saja. Zaman Pembaharuan diisi oleh kebangkitan pemikiran filsafat India,yang mnejadi pelopornya Ram Mohan Ray seorang pembaharu yang mendapatkan pendidikan di Barat.

Filsafat Tiongkok dapat dikatakan hidup dalam kebudayaan Tiongkok. Hal ini disebabkan karena pemikiran filsafat selalu diberikan dalamsetiap jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Menurut rakyat Tiongkok fungsi filsafatdalam kehidupan manusia adalah untuk mempertinggi tingkat rohani. Di Tiongkok ada dua aliran yang mendominasi pemikiran rakyat yaitu Confusianisme dan Taoisme.

Filsafat Islam dibagi dalam beberapa periode (a). Periode Mu�tazilah yaitu periode yang mendahulukan pemakaian akal pikirankemudian diselaraskan dengan Al-Qur�an dan Al-Hadits. Menurut mereka , Al-Qur�an dan Al-Hadits tidak mungkin bertentangan dengan akal pikiran.(b). Periode Filsafat Pertama upaya pendahuluannya adalah diadakan pengumpulan naskah-naskah filsafat Yunani, kemudian diterjemahkan. (c). Periode kalam Asy�ari adalah periode memperkokoh akidah Islam.(d) Periode filsafat kedua merupakan prestasi besar dan sebagai mata rantai hubungan Islam dari Timur ke Eropa. Inilah sumbangan Islam terhadap Eropa yang dapat membawa kebebasan berpikir.


Filsafat modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan yang ditandai dengan munculnya gerakan Renaissance yang berarti kelahiran kembali. Tujuan utamanya adalah merealisasikan kesempurnaan pandangan hidup Kristiani dengan mengaitkan filsafat Yunani dengan ajaran agama Keristen.

Bagian akhir buku ini menjelaskan tentang filsafat Analitis dan Strukturalis. Kedua filsafat tersebut merupakan dua aliran filsafat yang mempunyai pengaruh besar dewasa ini. Tokoh aliran filsafat analitis adalah Ludwig Josef Johan Wittgenstein. Sumbangannya yang terbesar adalah pemikirannya tentang pentingnya bahasa. Ia mencita-citakan suatu bahasa yang ideal, lengkap,formal dan memberikan kemungkinan bagi penyelesaian masalah-masalah kefilsafatan. Sedang tokohStrukturalisme adalah J.Lacan, menurut pemikirannya bahasa terdiri dari sejumlah termin yang ditentukan oleh posisi-posisinya satu terhadap yang lain. Menurut pendapatnya kita baru menjadi pribadi apabila kita mengabdikan diri pada permainan bahasa. Kalau orang tidak lagi mengabdikan diri pada aturan tersebut, ia tidak lagi bersifat pribadi (maksudnya orang gila yang bicara dengan Neo-Logisme).

Filsafat Islam » Filsafat agama
 
Kiranya tidak perlu sebuah uraian panjang lebar tentang filsafat agama. Filsafat agama adalah filsafat yang membuat agama menjadi obyek pemikirannya.
Dalam hal ini, filsafat agama dibedakan dari beberapa ilmu yang juga mempelajari agama, seperti antropologi budaya, sosiologi agama dan psikologi agama. Kekhasan ilmu-ilmu itu adalah bahwa mereka bersifat deskriptif.
Antropologi budaya meneliti pola kehidupan sebuah masyarakat dan kerangka spiritual hidup. Dalam rangka itu, bentuk-bentuk penghayatan agama dalam masyarakat itu diteliti. Antropologi mengamati dan berusaha ikut menghayati bagaimana masyarakat yang diteliti menghayati Yang ilahi. Antropologi adalah ilmu deskiptif. la tidak menilai apakah penghayatan itu baik atau buruk dan tidak berusaha untuk mengubah penghayatan itu, melainkan berusaha untuk memahami apa yang merupakan kenyataan keagamaan dalam masyarakat.
Sosiologi agama meneliti hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat, khususnya pengaruh agama terhadap kelakuan manusia dalam masyarakat. Sosiologi agama dapat memberi petunjuk yang berharga untuk mengetahui, apa sebenarnya kedudukan agama dalam sebuah masyarakat, apakah agama itu masih berpengaruh, apakah masyarakat masih mentaatinya, apakah sikap-sikap masyarakat masih dipengaruhi oleh agama.
Psikologi agama meneliti hakekat, bentuk-bentuk dan perkembangan pengalaman religius pada individu-individu dan kelompok-kelompok. Psikologi agama meneliti perasaan religius dalam hati, pertobatan, semangat kenabian, dan perbedaan penghayatan keagamaan dalam masyarakat-masyarakat sederhana dan dalam kebudayaan-kebudayaan tinggi. Segala bentuk penghayatan keagamaan serta fungsinya dalam perkembangan kepribadian diselidiki.
Berbeda dengan ilmu-ilmu deskriptif, filsafat agama mendekati agama secara menyeluruh. Filsafat agama mengembangkan logika, teori pengetahuan dan metafisika agama. Filsafat agama dapat dijalankan oleh orang-orang beragama sendiri yang ingin memahami dengan lebih mendalam arti, makna dan segi-segi hakiki agama-agama. Masalah-masalah yang dipertanyakan antara lain: hubungan antara Allah, dunia dan manusia, antara akal budi dan wahyu, pengetahuan dan iman, baik dan jahat, sosok pengalaman Yang Kudus dan Yang Syaitani, apriori religius, faham-faham seperti mitos dan lambang, dan akhrinya cara-cara untuk membuktikan kerasionalan iman kepada Allah serta masalah "theodicea" yang telah saya sebutkan.
Ada juga filsafat agama yang reduktif (mau mengembalikan agama kepada salah satu kebutuhan manusia dengan menghilangkan unsur transendensi), kritis (mau menunjukkan agama sebagai bentuk penyelewengan dan kemunduran) dan anti agama (mau menunjukkan bahwa agama adalah tipuan belaka).
Reduktif misalnya filsafat Immanuel Kant (salah seorang filosof terbesar zaman moderen, penganut kristen protestan yang 'alim) yang mau mengembalikan peran agama sebagai penunjang moralitas manusia. Reduktif-kritis adalah teori Durkheim yang melihat agama sebagai jaminan kekokohan kesatuan sebuah masyarakat. Kritis, reduktif dan anti agama misalnya filsafat Feuerbach yang mereduksikan agama pada usaha keliru manusia untuk merealisasikan diri; Marx yang melihat agama sebagai pelarian orang yang tertindas, dan Freud yang memahami agama sebagai gejala neurotik.
Tidak mungkin dalam rangka tulisan sederhana ini kami membahas semua paham itu secara mendalam. Kiranya jelas bahwa orang agama dewasa ini sangat perlu mempelajari filsafat agama dan bahkan ikut secara aktif di dalamnya, artinya, rnenjadi filosof agama. Di satu pihak, filsafat dapat membuka mata manusia akan kenyataan, keluhuran dan keunikan gejala agama (berlawanan dengan segala teori reduktit). Di lain pihak, serangan-serangan filsafat agama yang reduktif, kritis dan anti agama perlu ditanggapi. Kaum agama dapat belajar daripadanya, belajar bahwa keagamaan dapat disalahfahami, supaya mereka memperbaiki .penghayatan keagamaan sedemikian rupa hingga agama tidak lagi disalahpahami. Juga untuk membuka kelemahan pendekatan kritis-reduktif itu.
Kalau agama mau menghadapi tantangan modernisasi secara terbuka, dan kalau ia mau ikut menjadi unsur aktif di dalamnya, maka ia harus berani terjun ke filsafat agama.
Penyimpangan atau Kenakalan Remaja

1. Seks bebas di kalangan remaja, yang bisa menyebabkan terjangkitnya penyakit AIDS.

2. Kecanduan akan Narkoba yang menyebakan kematian dan AIDS

3. Kecanduan Alkohol / minuman keras.

4. Tawuran.

5. Sering berkunjung ke diskotik.

6. Menjajakan diri kepada pria hidung belang.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Menyimpang Pada Remaja

1. Kelalaian orangtua dalam mendidik anak (memberikan ajaran dan bimbingan tentang nilai-nilai agama).

2. Sikap perilaku orangtua yang buruk terhadap anak.
3. Kehidupan ekonomi keluarga yang morat marit (miskin/fakir).
4. Diperjualbelikannya minuman keras/obat-obatan terlarang secara bebas.
5. Kehidupan moralitas masyarakat yang bobrok.

6. Beredarnya film-film atau bacaan-bacaan porno.
7. Perselisihan atau konflik orangtua (antar anggota keluarga).
8. Perceraian orangtua.
9. Penjualan alat-alat kontrasepsi yang kurang terkontrol.
10. Hidup menganggur.

11. Kurang dapat memanfaatkan waktu luang.
12. Pergaulan negatif (teman bergaul yang sikap dan perilakunya kurang memperhatikan nilai-nilai moral).
Alasan-Alasan Yang Umum Untuk Berpacaran Selama Masa Remaja
1.Hiburan
Apabila berkencan dimaksudkan untuk hiburan, remaja menginginkan agar pasanganya mempunyai berbagai keterampilan sosial yang dianggap penting oleh kelompok sebaya, yaitu sikap baik hati dan menyenangkan

2.Sosialisasi
Kalau anggota kelompok sebaya membagi diri dalam pasangan-pasangan kencan, maka laki-laki dan perempuan harus berkencan apabila masih ingin menjadi anggota kelompok dan mengikuti berbagai kegiatan sosial kelompok

3.Status
Berkencan bagi laki-laki dan perempuan, terutama dalam bentuk berpasangan tetap, memberikan status dalam kelompok sebaya, berkencan dalam kondisi demikian merupakan batu loncatan ke status yang lebih tinggi dalam kelompok sebaya.

4.Masa Pacaran
Dalam pola pacaran, berkencan berperan penting karena remaja jatuh cinta dan berharap serta merencanakan perkawinan, ia sendiri harus memikirkan Sungguh-sungguh masalah keserasian pasangan kencan sebagai teman hidup.

5.Pemilihan Teman Hidup
Banyak remaja yang bermaksud cepat menikahi memandang kencan sebagai cara percobaan atau usaha untuk mendapatkan teman hidup.